Suatu
ketika ada seorang ustadz menyampaikan ceramah di sebuah mesjid tentang arti
musibah bagi diri dan kehidupan manusia.
Apabila kita mengalami musibah, baik besar atau kecil, maka kita harus bersabar
dan mengembalikannya kepada Alloh SWT dengan mengucapkan “Inna lillahi wa ina ilaihi roji’un”. Kata ustdaz lebih lanjut,
”termasuk misalnya jika seseorang kehilangan sandal di mesjid, itu juga
musibah.”
Selesai ceramah maka para jemaah-pun
bubar. Ketika hendak meninggalkan mesjid, Ustadz nampak sedang mencari-cari
sesuatu di depan pintu mesjid. Pandangan matanya tertuju ke beberapa sudut
mesjid, dengan wajah yang nampak agak sedikit gelisah. Melihat sikap Ustadz
demikian, seorang jemaah dengan agak penasaran bertanya, ”Sedang mencari apa
Ustdaz?” Ustdaz menjawab, “Saya sedang mencari sandal saya yang hilang, padahal
baru dibeli beberapa hari yang lalu.” Dengan spontan, sang jemaah itu
mengucapkan, Inna lillahi wa ina ilaihi
roji’un”, sang Ustadz pun tersadar sambil tersipu malu, pamit pulang dan mampir
ke warung untuk membeli sandal.
Dari cerita tersebut dapat diambil
paling tidak 2 kesimpulan :
Pertama, musibah
itu tidak hanya terjadi pada orang durhaka. Orang paling shaleh pun akan
mengalaminya. Karena Alloh SWT berkehendak memberi cobaan kepada siapapun.
Apakah si durhaka atau si shaleh, apakah si kafir atau si mukmin. Hal tersebut
sesuai dengan firmannya dalam surat
Al-Baqarah (ke-2 ) ayat 155 yang berbunyi: Artinya: “Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekeurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita kepada orang-orang yang sabar.”
Arti dan kedudukan musibah bagi
setiap orang berbeda-beda di sisi Alloh SWT. Bagi orang beriman merupakan
ujian, bagi orang lalai merupakan peringatan dan bagi orang kafir merupakan
siksa.
Alloh SWT menjelaskan di dalam
Al-Qur’an surat
Al-ankabut (ke-29 ) ayat 2-3 bahwa Dia tidak akan membiarkan manusia menyatakan
dirinya beriman, kecuali mereka pasti diuji oleh-Nya. Sebagaimana Alloh telah
menguji orang-orang yang hidup sebelum kita, untuk mengetahui apakah mereka
benar-benar beriman, atau pengakuan mereka itu hanyalah kebohongan belaka.
Kedua,
jika kita seorang mubaligh/ustadz, apalagi yang telah dipandang sebagai ulama
oleh masyarakat, maka bukan hanya kepandaian berbicara yang dituntut dari kita,
akan tetapi yang lebih penting adalah kepandaian melakukannya atau
menerapkannya.
Jika kita mengajak umat untuk
bersabar tatkala musibah menghampiri, maka kita seharusnya lebih mampu bersabar
bila mengalaminya. Jika kita menyerukan umat untuk rajin bersedekah, maka kita
harus pula rajin bersedekah. Jika kita mengajarkan umat tentang akhlak mulia,
maka kitalah yang harus lebih dahulu berakhlak mulia. Dan seterusnya.
Perlu diingat bahwa ada sebuah
konsekuansi yang akan dialami oleh semua orang di sisi Alloh, termasuk seorang
ustdaz/mubaligh, apabila ia mengatakan sesuatu akan tetapi tidak melakukannnya,
yaitu akan mendapatkan kebencian dari Alloh SWT. Firman Alloh dalam surat Ash-shaf (ke-61)
ayat 2 yang berbunyi: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Marilah
kita berdoa kepada Alloh SWT agar diberikan kesabaran bila terkena musibah dan
diberikan kekuatan dapat mengerjakan kebaikan bila kita menyeruh suatu kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar