Suatu
kewajaran dalam hidup pabila ada hal-hal atau perkara-perkara yang membuat
hidup kita lebih baik. Pun demikian halnya terdapat hal-hal yang membuat hidup
kita menjadi rusak. Teladan kita, Muhammad S.A.W. mengindikasikan ada tiga hal
yang dapat merusak hidup kita dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas
r.a., “Tiga perkara yang merusak, yaitu: hawa nafsu yang diperturutkan,
kikir yang ditaati dan kekaguman seseorang pada dirinya sendiri” (HR
Tabrani).
Setiap manusia dianugerahi Allah S.W.T.
nafsu atau keinginan dan kecintaan terhadap hal-hal duniawi. Karena dengannya
manusia menjadi berkembang dan berbudaya. Namun, pabila segala keinginan
ataupun obsesi kita akan hal-hal duniawi diperturutkan, maka nafsu yang
semestinya menjadi karunia berubah menjadi sesuatu yang dapat merusak hidup
kita.
Harta boleh dicari dan dimiliki,
namun jangan sampai melupakan Alloh SWT seperti menghalalkan segala cara, tidak
menunaikan zakat setelah memperolehnya. Kedudukan atau tahta yang diperoleh, menjadi
sangat dicintainya sehingga manusia tidak mau melepaskannya. Kedudukan tersebut
tidak digunakan untuk menegakkan kebenaran tetapi hanya untuk menyenangkan diri
dan keluarganya. Begitu juga dengan nafsu seksual terhadap lawan jenis, yang
juga diberikan Alloh kepada manusia, tidak dilarang untuk melampisakannya
selama melalui jalur yang benar dan dibenarkan, dalam hal ini melalui jalur pernikahan.
Tetapi ternyata banyak manusia menuruti hawa nafsu sehingga terjadi banyak perzinahan
meskipun Allah sudah melarang mendekatinya.
Jika sudah demikian, pada akhirnya
secara tak sadar manusia tunduk pada hawa nafsunya sendiri sehingga
menjadikannya seperti tuhan. Bila ini terjadi, maka manusia menjadi sesat, hal-hal
yang semula tidak mungkin dilakukannya bahkan dibencinya malah dikerjakannya,
terjadilah kemudian kasus-kasus pemerkosaan, pembunuhan, penipuan, korupsi dan perbuatan-perbuatan
hina dan keji lainnya. Firman Alloh SWT:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Alloh telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh
(membiarkan sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”. (QS: 45: 23).
Perkara kedua yang dapat merusak
hidup kita adalah kikir yang ditaati.
Sifat ini muncul sebagai salah satu akibat dari sikap manusia yang terlalu
cinta harta atau terlalu memperturutkan nafsunya akan harta kekayaan. Sifat
kikir membuat kita akan mementingkan diri sendiri, tidak peduli kepada orang
lain di sekitar kita. Sifat tersebut biasanya ditandai dengan tidak menunaikan
zakat maupun kikir kepada sesama dengan tidak mau mambantu sesamanya. Adanya sifat ini telah disinyalir dan
dijanjikan ancaman oleh Allah seperti dalam firmannya: “Orang-orang kikir dan menyuruh orang lain
berbuat kikir serta menyembunyikan karunia Alloh yang diberikannya kepada
mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir siksa yang
menghinakan”. (QS 4:37)
Sifat kikir menunjukkan rendahnya
kualitas hubungan kita dengan sesama manusia, hablum minan-naas. Sifat
kikir ini bisa menjangkiti siapa saja, bahkan orang yang ibadahnya terlihat
rajin. Namun, manakala ada orang yang mengaku mukmin tetapi tetap memiliki
sifat kikir, sehingga orang disekitarnya kelaparan atau kesulitan dan itu
disadarinya maka ia bisa dianggap sebagai orang yang tidak pantas mengaku
beriman. Rosulullah S.A.W. bersabda: “Tidak
beriman kepadaku orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sedang tetangga
yang disisinya kelaparan, dan iapun mengetahui atau menyadarinya”
(HR Tabrani dan Bazzra).
Pernah suatu ketika terjadi musim
paceklik di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddik, Abu Bakar justru sudah tidak
makan lebih dulu dari rakyatnya. Sementara Usman bin Affan membeli kebutuhan
pangan dalam jumlah yang banyak dan dibagikan gratis kepada masyarakat meskipun
banyak pedagang yang mau membelinya dengan harga yang lebih mahal. Kita dapat mengambil
hikmah dari sirah sahabat tersebut, bahwa seharusnya kesalehan personal kita
juga harus diikuti dengan kesalehan sosial. Bukankah Allah menyuruh kita untuk
menyeimbangkan hablum mina-Allah dan hablum minan-naas.
Perkara ketiga adalah membanggakan diri sendiri. Bangga diri
atau ujub adalah penyakit hati yang berbahaya karena sifat ini merupakan cikal
bakal lahirnya sifat sombong dan ini akan menjadi penghambat seseorang masuk
surga. Membangga-banggakan diri lahir atau muncul karena ketidaktenangan jiwa
kita. Seorang yang membanggakan dirinya sendiri biasanya melihat ada sesuatu
yang lebih pada dirinya sehingga patut untuk dibanggakan. Padahal bila kita
sadari, semuanya adalah titipan dan amanah dari Allah yang akan dimintai
pertanggungjawaban..
Orang ujub (bangga diri) bukan hanya
mengecilkan kebesaran orang lain, tapi juga tidak menganggap Allah yang telah
memberikan kenikmatan kepadanya, dia merasa apa yang dinikmatinya semata-mata
karena usahanya sendiri dan tidak dikaitkannya dengan Allah. Pada akhirnya seseorang
menjadi sombong yang bermula dari membanggakan dirinya, membuat dia merasa
tidak punya kekurangan dan yang teramat berbahaya adalah jangankan dikoreksi
dan dikritik, diberi masukan, saran dan nasehat saja tidak mau menerimanya
bahkan kadang mencela yang memberi nasehat.
Semoga kita terhindar dari ketiga
sifat tersebut. Amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar