Halaman

Kamis, 14 Februari 2013

MUSIBAH



Suatu ketika ada seorang ustadz menyampaikan ceramah di sebuah mesjid tentang arti musibah  bagi diri dan kehidupan manusia. Apabila kita mengalami musibah, baik besar atau kecil, maka kita harus bersabar dan mengembalikannya kepada Alloh SWT dengan mengucapkan “Inna lillahi wa ina ilaihi roji’un”. Kata ustdaz lebih lanjut, ”termasuk misalnya jika seseorang kehilangan sandal di mesjid, itu juga musibah.”

            Selesai ceramah maka para jemaah-pun bubar. Ketika hendak meninggalkan mesjid, Ustadz nampak sedang mencari-cari sesuatu di depan pintu mesjid. Pandangan matanya tertuju ke beberapa sudut mesjid, dengan wajah yang nampak agak sedikit gelisah. Melihat sikap Ustadz demikian, seorang jemaah dengan agak penasaran bertanya, ”Sedang mencari apa Ustdaz?” Ustdaz menjawab, “Saya sedang mencari sandal saya yang hilang, padahal baru dibeli beberapa hari yang lalu.” Dengan spontan, sang jemaah itu mengucapkan, Inna lillahi wa ina ilaihi roji’un”, sang Ustadz pun tersadar sambil tersipu malu, pamit pulang dan mampir ke warung untuk membeli sandal.

            Dari cerita tersebut dapat diambil paling tidak 2 kesimpulan :
          Pertama, musibah itu tidak hanya terjadi pada orang durhaka. Orang paling shaleh pun akan mengalaminya. Karena Alloh SWT berkehendak memberi cobaan kepada siapapun. Apakah si durhaka atau si shaleh, apakah si kafir atau si mukmin. Hal tersebut sesuai dengan firmannya dalam surat Al-Baqarah (ke-2 ) ayat 155 yang berbunyi: Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekeurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita kepada orang-orang yang sabar.”

            Arti dan kedudukan musibah bagi setiap orang berbeda-beda di sisi Alloh SWT. Bagi orang beriman merupakan ujian, bagi orang lalai merupakan peringatan dan bagi orang kafir merupakan siksa.

            Alloh SWT menjelaskan di dalam Al-Qur’an surat Al-ankabut (ke-29 ) ayat 2-3 bahwa Dia tidak akan membiarkan manusia menyatakan dirinya beriman, kecuali mereka pasti diuji oleh-Nya. Sebagaimana Alloh telah menguji orang-orang yang hidup sebelum kita, untuk mengetahui apakah mereka benar-benar beriman, atau pengakuan mereka itu hanyalah kebohongan belaka.



            Kedua, jika kita seorang mubaligh/ustadz, apalagi yang telah dipandang sebagai ulama oleh masyarakat, maka bukan hanya kepandaian berbicara yang dituntut dari kita, akan tetapi yang lebih penting adalah kepandaian melakukannya atau menerapkannya.

            Jika kita mengajak umat untuk bersabar tatkala musibah menghampiri, maka kita seharusnya lebih mampu bersabar bila mengalaminya. Jika kita menyerukan umat untuk rajin bersedekah, maka kita harus pula rajin bersedekah. Jika kita mengajarkan umat tentang akhlak mulia, maka kitalah yang harus lebih dahulu berakhlak mulia. Dan seterusnya.

            Perlu diingat bahwa ada sebuah konsekuansi yang akan dialami oleh semua orang di sisi Alloh, termasuk seorang ustdaz/mubaligh, apabila ia mengatakan sesuatu akan tetapi tidak melakukannnya, yaitu akan mendapatkan kebencian dari Alloh SWT. Firman Alloh dalam surat Ash-shaf (ke-61) ayat 2 yang berbunyi: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?



Marilah kita berdoa kepada Alloh SWT agar diberikan kesabaran bila terkena musibah dan diberikan kekuatan dapat mengerjakan kebaikan bila kita  menyeruh suatu kebaikan.

Tidak ada komentar: